Oleh: FX. Gus Setyono
Sampai sekarang citra HRD sebagai Personalia masih saja melekat di banyak anggota organisasi. Sehingga kalau ada kejadian pelanggaran kedisiplinan, rendahnya kinerja, ada karyawan yang mengundurkan diri, kekacauan penghitungan lembur, pengajuan persetujuan gaji, serta keputusan-keputusan lain yang menyangkut kepegawaian, selalu diserahkan kepada HRD. Pendek kata, HRD dijadikan tumpuan penyelesaian setiap persoalan karyawan. Seolah semua menjadi tanggung jawab HRD.
Akibatnya, kesannya HRD seperti “polisi” di perusahaan, yang tugasnya selalu mengawasi pelanggaran-pelanggaran karyawan, dan menertibkannya. HRD juga sering dianggap “Santa Claus” yang bisa memberikan anugerah berupa kenaikan gaji. Sebaliknya, bila tidak ada kenaikan gaji berarti juga “dosa” HRD. Bisa jadi HRD menjadi sasaran umpatan-umpatan atau yang lebih parah menjadi “musuh bersama”, bila ada kebijakan perusahaan yang merugikan karyawan. Padahal, kalau ada penerimaan karyawan baru, para manager lini juga minta dilibatkan (dalam memutuskan), agar mereka bisa mendapatkan anak buah yang sesuai dengan keinginan mereka.
Oleh sebab itu, pada konsep yang baru, HRD mesti dibedakan dengan Personalia. HRD, fungsi dan tugasnya fokus pada pengembangan kamampuan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) --bagaimana meningkatkan kontribusi SDM terhadap pencapaian tujuan organisasi. Urusan kepegawaian sehari-hari di lapangan mesti ditangani sendiri oleh para atasan pada bagian masing-masing. Hal ini karena fungsi personalia mesti melekat di semua manajer. Setiap manajer memiliki tanggung jawab secara organisasi terhadap setiap bawahannya, baik mengenai pengaturan kerja (termasuk supervisi), kinerja, bimbingan dan konsultasi, sikap, sampai ke soal pengajuan remunerasi.
Pertanyaannya kemudian, apakah fungsi HRD lantas sama sekali tidak bersinggungan dengan masalah kepegawaian? Tetap ada persinggungannya. Hanya saja HRD lebih bersifat ke penyusunan sistem, sedangkan pelaksanaan kesehariannya diserahkan (tanggung jawab dan wewenangnya) kepada masing-masing atasan, agar setiap atasan dapat menjalankan fungsi manajerial mereka. Sebagai contoh adalah soal performance review. Dalam hal penilaian, maka HRD mesti membuat sistem dan prosedur penilaian, sedangkan yang berhak memberikan penilaian adalah atasan, karena setiap hari yang tahu kinerja karyawan adalah atasannya. Juga mengenai hak cuti. Yang menyusun prosedur cuti adalah HRD, tapi yang berhak menyetujui atau tidak cuti tersebut adalah atasan.
Pengertian-pengertian yang demikian mesti disosialisasikan kepada seluruh atasan, agar mereka memahami fungsi dan tanggung jawab manajer, serta fungsi dan tanggung jawab HRD. Dengan demikian mereka tidak seenaknya saja melemparkan setiap permasalahan karyawan kepada HRD. Sebaliknya, HRD juga tidak begitu saja menjadi bulan-bulanan karyawan karena dianggap “mata-mata” atau “kaki tangan” pemilik perusahaan. HRD tidak lagi menjadi musuh. Sehingga diharapkan HRD dapat fokus pada pengembangan SDM yang ada di perusahaan.
nb: dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar