Minggu, 23 Maret 2008

Daun Kering Di Halaman Rumah Eps.1

Kulihat Ayah berdiri di depan jendela, menatap sesuatu yang tidak tampak. Itu perkiraanku. Dugaanku pasti benar, bahwa sebentar lagi ayah akan mengatakan sesuatu;seolah ada seseorang yang berdiri disampingnya. Aku menunggu. Satu, tiga menit, lima menit……

“Bei, daun kering di depan rumah dah banyak pun. Cube engkau tengok, daunnye berwarne kuning. Dah kering, bei. Apekah setiap daun di ranting yang akan menguning selalu mengalah pade daun yang lebih mude dan jatuh ke tanah,bei?”

Benar. Ayah mengucapkan kalimat itu lagi. Mungkin kalimat itu adalah yang ke seratus sekian kalinya diucapkan oleh ayah. Ah, lihatlah. Tubuh itu sudah tidak mampu menopang tubuhnya yang kian hari kian kurus. Keriput dikulitnya menambah ketuaannya. Dan rambutnya yang memutih sudah tipis karena rontok.

“Bukankah daun kering itu macam aku,bei? Engkau pergi meninggalkanlkan aku dengan sejuta kehampaan. Engkau harus balek,bei. Daun-daun itu telah pun menanti engkau. Menanti untuk engkau sapu dengan tangan-tangan halusmu.”

Kalimat itu terlontar lagi dari bibir ayah. Kalimat itu menguasai pikirannya. Tak ada lagi kalimat lain yang mampu diucapkannya. Selain kalimat yang setiap hari diulangnya secara terus-menerus. Bei. Bei. Nama yang disebutnya itu adalah buah hatinya. Belahan jiwanya. Madu termanis yang pernah dimilikinya. Dan warna hatinya yang tidak akan pernah memudar.

Bei. Gadis itu telah meninggalkannya. Pergi dengan membawa hati ayahku. Dan mungkin kini telah dibuangnya ke dasar laut yang paling dalam. Ayah sering menangis. Ayah selalu bersedih bila mengingatnya. Dan setiap menit luka itu kian menganga besar. Ah, bei. Kenapa kau tinggalkan ayahku? Lihatlah dia…lihat bahwa ternyata memang dia sangat memerlukanmu. Kau adalah penyangga hidupnya. Kau adalah mahkota hidupnya. Dan kau adalah peri hatinya yang takkan mampu terganti oleh peri-peri yang lain termasuk aku. Aku,bei. Aku yang mengurusnya. Aku yang selalu mengisi hari-harinya. Dan aku juga yang seharusnya menduduki hatinya. Tapi tetap namamu jua yang bertahta di hatinya. Padahal justru seharusnya akulah yang memerlukan ayah. Tapi kenyataan yang ada, ayah selalu memerlukanmu. Kau menghancurkan hatiku,bei.

“Aku tak hendak menyakiti hati engkau. Tapi engkau harus mengakui bahwa ayah memang menyayangi aku. Engkau tak mampu menghindar. Akui saja bahwa engkau telah kalah dalam meraih perhatian ayah.”

Itu yang pernah kau ucapkan padaku,bei. Saat itu aku hanya mampu tersenyum. Berharap bahwa kenyataan itu akan berubah dan engkau akan paham bahwa aku mampu meraih apa yang tak pernah engkau duga sebelumnnya. Dua, lima tahun dan sepuluh tahun berlalu. Dan tetap kenyataan yang aku harapkan tak datang-datang padaku. Engkau selalu mengungguli aku dalam segala hal. Dan itu pula yang membuat ayah memberi point lebih padamu. Aku kalah…kalah!

bersambung....

Tidak ada komentar: