Minggu, 23 Maret 2008

Daun Kering Di Halaman Rumah Eps.2

Aku menerima sepucuk surat. Kutatap dalam-dalam tulisan yang tertera di permukaan amplop itu. Bei. Peri ayah mengirimkan surat. Dan itu adalah surat yang kesekian kalinya dikirim untuk ayah setelah lima tahun lebih ia pergi meninggalkan ayah dan meninggalkan rumah tempat ia dibesarkan ini. Aku mendesah pelan. Kulipat surat itu dan kumasukkan ke dalam saku celana panjangku. Aku melangkah menuju teras. Kulihat ayah menatapku tajam. Aku coba untuk bersikap wajar.

“Orang pos itu salah alamat,yah. Ayah menunggu surat dari bei? Percayelah pada ai,yah, kalau ade surat untuk ayah dari bei, pastilah ai cakapkan pade ayah,” ucapku dengan sedikit keyakinan bahwa ayah akan mempercayai ucapanku. Kembali kupandangi ayah. Terlihat tulang wajahnya yang tadi mengeras karena tidak percaya, kini telah tampak wajar kembali.

“Kemane bei, ai? Kenape ia tak hendak memberi kabar pade ayah? Bei…bei…dimane engkau nak? Ayah rindukan engkau. Baleklah. Bukan hanye ayah yang rindukan engkau, ai juge merindukan engkau. Iye kan,ai?” ayah menoleh padaku. Aku tersenyum lalu mengangguk pelan.

Ah, beban batin ayah begitu berat. Kenapa ia harus menanggung beban ini? Aku sangat menyayangi beliau. Tapi, apa ayah juga menyayangiku? Sudahlah! Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu sendiri. Ayah masih duduk di teras. Tidak berapa lama kemudian ia masuk dan kembali berdiri di depan jendela. Kembali menatap, menatap sesuatu yang tak tampak. Kuarahkan langkahku ke kamar. Namun sebait kalimat ayah menghentikan langkahku.

“Ai, jangan pernah engkau sapu dedaunan kering di halaman. Biar…biarlah bei yang menyapunya. Engkau paham ai?” ucap ayah tanpa menoleh padaku. Aku tak berkata apa-apa. Karena aku tak mampu. Dan untuk menjawab itu, kurasa aku perlu waktu yang panjang.

bersambung............

Tidak ada komentar: